Tentang Teman
Mencari teman, bagiku, bukan
suatu hal mudah.
Terutama ia yang bisa benar-benar kau percaya.
Mencari seorang teman merupakan
sebuah proses panjang. Mereka yang kukenal tidak serta-merta menjadi temanku.
Sebuah pernyataan jahat, memang. Tetapi begitulah kenyataannya. Apabila diibaratkan, rasanya
seperti kau baru belajar berenang lalu kemudian diminta untuk langsung menyelami
palung sampai ke dasar. Menggerakkan tangan dan kakimu perlahan-lahan, merasa
selalu cemas karena bisa saja sewaktu-waktu kau bisa mati kehabisan napas dan tenggelam.
Kalau beruntung, kau akan
menemui ikan warna-warni, penyu, atau penyelam lain yang juga sedang berenang
menuju dasar palung. Tetapi tidak jarang kau mendapati gurita raksasa atau penyelam
yang mencuri dan melucuti perlengkapan selammu di tengah perjalanan. Namun,
tetap saja, sulit untuk dapat menemukan ikan, atau penyu, atau penyelam lain yang
bersedia meminjamkan peralatan selamnya kepadamu dan benar-benar ingin menyelam
bersamamu.
Ada beberapa orang yang kemudian
bersedia menyelam bersama dalam perjalanan. Namun, akhir-akhir ini, beberapa teman
yang telah berproses bersamaku dalam jangka waktu cukup lama, satu-persatu
beranjak pergi, berlari ke depan dan meninggalkanku sendiri terengah-engah di
belakang. Aku tahu, mereka tidak benar-benar meninggalkanku – mereka hanya
sedang ingin mengejar cita-cita yang hendak mereka capai. Tetapi mungkin memang
kelemahan dari orang sepertiku ialah, menjadi terlalu bergantung pada orang yang
telah kaupilih untuk kau percaya hingga berat rasanya untuk membiarkan mereka
pergi begitu saja.
Pada akhirnya, aku memilih untuk tetap
melepaskan mereka perlahan-lahan. Bukan. Bukan
untuk berhenti menjadi teman mereka, namun untuk membiarkan sayap yang
seharusnya mampu menerbangkan mimpi-mimpi mereka sedari dulu.
Lalu kemudian, aku kembali
sendiri.
Menengok sekitar, berharap sekiranya ada manusia-manusia lain yang bersedia
menemaniku berjalan.
Dan, mereka memang ada.
Mereka
seperti sebuah keajaiban bagiku: membawa segala yang kubutuhkan dengan cepat, namun
sayangnya juga pergi kembali dengan cepat. Menciptakan suatu pertemanan nyata
namun juga semu. Menciptakan bahagia sekaligus luka yang mendalam bagiku.
Beberapa memang bertahan cukup lama dibandingkan yang lain. Tetapi aku tidak
bisa mencegah mereka yang kemudian satu-persatu mulai berjalan dengan lebih
cepat, atau memilih arah yang berbeda dalam berjalan. Sekali lagi, pada akhirnya
aku harus berjalan sendiri, pelan-pelan, dan terengah-engah.
Aku berpikir,
Mungkin
ekspektasiku terhadap orang lain terlampau tinggi sehingga mereka tidak sanggup
memanjatnya.
Mungkin lubang yang tercipta sudah terlampau dalam sehingga butuh
waktu yang lama untuk menutupnya dan kembali menanaminya bibit-bibit bunga.
Mungkin, mungkin, dan mungkin yang lainnya. Aku selalu berpikir tentang
kemungkinan-kemungkinan itu hingga, akhirnya, kembali menimbulkan perasaan
cemas yang tak berkesudahan.
“Apa yang telah aku lewatkan?”
“Kesalahan apa yang telah
kuperbuat?”
“Apakah aku belum cukup baik
sampai saat ini?”
Dan kembali seperti itu dan terus
berlanjut, terus berlanjut, terus berlanjut hingga tidak jarang membuatku
terluka dan terpaksa berhenti di tengah jalan.
Terkadang, aku berharap untuk dapat
menjadi rumah. Bagi mereka yang telah pergi dan ingin kembali, bagi mereka yang
lelah untuk terus berlari. Memberitahu mereka, bahwa aku selalu ada di
belakang mereka yang sedang berjuang, selalu ada saat mereka membutuhkan
pertolongan.
Tetapi lagi-lagi, benarkah ada mausia yang benar-benar melihat sekelilingnya saat sedang mengejar tujuan
mereka, terutama menengok ke belakang?
Kurasa, tidak benar-benar ada.
Karena, pada dasarnya, manusia
memang diciptakan untuk berjuang bertahan hidup seorang diri.
Komentar
Posting Komentar