Surat untuk Guntur
yang kini mengaku jatuh cinta pada kebun bunga milikku.
Tulisan ini untukmu.
Tuan yang tidak bosan-bosannya mengubur luka dalam senyumnya
dan lebih memilih untuk terus menyirami ladang bunganya yang makin hari
makin subur.
Aku teringat saat pertama kali berkunjung ke kebun bungamu. Di sana kering
sekali hingga tanahnya retak-retak. Dirimu duduk tercenung di sudut ladang
dengan cangkul yang telah menyerah dengan keadaan. Saat aku menghampirimu, kau
tersenyum kecil. Namun, hatimu yang tersayat itu memiliki luka menganga yang
lebih besar dari senyummu. Dari situ, kemudian aku memilih untuk memberikan
beberapa bibit bunga yang mampu kau tanam.
Dan dirimu, tuan, kemudian memilih untuk merawatnya.
Bulan demi bulan berlalu, begitu juga matahari yang memilih pergi saat
senja.
Kebun bunga kecilmu akhirnya tumbuh terawat dan semakin sehat.
Sama dengan tukang kebunnya yang tidak bosan-bosan bersenandung tentang
kehidupan.
Kau kini lebih memilih memainkan lagu masa depan, walau sesekali masih memainkan
nada-nada dari masa lalu.
Kau tidak pernah lupa berterimakasih kepadaku. Dirimu selalu datang
menemuiku dan memberikan bunga dari ladang yang sedang mekar cantik-cantiknya.
Hingga, suatu saat, satu kalimat sederhana meluncur dari mulutmu yang selalu
ramah,
"Aku jatuh cinta pada kebun bungamu. Memang tidak secantik yang lain, tetapi bunga-bunga dalam kebunmu berhasil menanamkan makna hidup yang baik pada diriku juga kebun bungaku. Aku berharap kau mau menanam dan merawat bunga bersamaku selamanya."
Padahal, kebun bungaku hanya didominasi kaktus, bunga matahari, dan
dandelion yang terus-menerus pergi. Saat aku bertanya mengapa, kau pasti
melayangkan jawaban tidak apa. Kau sungguh mengatakannya dengan seutas senyum paling
tulus yang pernah kau tunjukkan padaku.
"Bukan masalah apakah aku bersedia atau tidak merawat bunga bersamamu," nyataku.
"Tetapi, bibit-bibit ini sesungguhnya bukan milikku."
Aku bisa melihat rasa heran menggantung pada kedua belah alismu.
“Kalau begitu, milik siapa?”
“Milik yang Maha Bibit, Maha Bunga.”
Aku tersenyum getir.
“Sejatinya, aku takut menanam bunga bersamamu. Bukan, bukan karena aku takut bunga-bunga kita akan layu dan mati. Itu suatu hal yang tentu terjadi, namun aku yakin kita adalah penikmat bunga yang selalu nikmat. Tetapi, yang membuatku takut ialah kemungkinan bahwa kita akan menjadi tukang kebun yang terlalu mabuk, yang terlalu asyik merawat bunga di kebun satu sama lain hingga lupa bahwa seisi kebun kita bukan benar-benar milik kita.
Aku khawatir kita hanya sibuk untuk terus menggali hingga pada akhirnya jatuh terkubur dengan apa yang telah menyatukan kau dan aku. Kita kemudian lupa bahwa bunga juga haus akan rintik hujan dan sinar mentari yang tak mungkin kita ciptakan sendiri. Lagipula, kita ini sekedar penanam bunga, bukan pujangga atau ilmuwan yang senang bercanda dengan hujan dan surya. Betul?”
Dirimu mengangguk mengiyakan keragu-raguanmu sendiri.
“Tapi...tapi aku selalu memohon untuk bisa merawat bunga berdua, bersama kau. Tak adakah cara lain supaya kita mampu melakukannya?”
“Satu-satunya cara yang bisa kita lakukan hanya kembali pada kebun masing-masing dan berharap pada sang Maha Bunga untuk menurunkan hujan dan membujuk matahari supaya sudi mendermakan cahayanya pada tanaman kita. Supaya kau dan aku tahu bahwa bunga-bunga yang kita besarkan bukanlah imaji dan kebun kita, bukan merupakan bagian dari suatu hal yang fana.”
Terdengar jahat, memang. Tetapi tuan, sungguh aku benar-benar berharap kau
bisa segera pulang dan lanjut untuk merawat kebun kecil milikmu. Karena, seperti
apa yang sering diucapkan oleh peran utama film romansa klasik, ini demi kebaikan
kita berdua.
Semoga kau tidak menangkap basah bunga-bungaku yang terlanjur cerah
bermekaran.
Komentar
Posting Komentar