Lelaki yang Memilih Pergi

i.
Siang kali ini memilih untuk larut dalam benak gadis belia yang jumlahnya mampu mengisi setengah penduduk negara kepulauan.

Takdir sengaja memainkan bidak kudanya yang sekilas sinis menertawakan lelucon yang masih jelas berujar,
"ini hanya mimpi!"

Tetapi,
pada kenyataannya,
balon tetap memilih menjadi angkasa,
gulali bisa berubah getir,
dan mawar menolak bermahkota darah.

Akhirnya,
ketidakterbatasan
membuat batasannya sendiri.

[Egoisme, adalah sesuatu yang absolut]

30/8


ii.
Lelaki itu sesungguhnya tidak mencabut bulan,
tetapi memutuskan kerlip menjadi sesosok bintang.

Lengan-lengannya akan tetap bergantung
pada rembulan yang juga memilih untuk tak redup.

Tatapan mereka saling berujar:
"Mari kita beriring dalam meniti langit. Angkasa memang lebih pekat dari kopi hitam yang selalu kita cecap bersama pada kafe sudut gedung,
tetapi ketidakterbatasan adalah apa yang membuat kita bertahan."

Bulan dan bintang itu takkan pernah berani untuk membandingkan diri mereka dengan sejoli bumi-mentari.
Namun, setidaknya mereka tahu bahwa keberadaannya bagai komplemen untuk satu sama lain.

Pada akhirnya, lorong yang tak terbatas itu bercabang.

31/8

Komentar

Postingan Populer